Sinergitas Guru, Orangtua, dan Siswa
Oleh Siti Rohmiyatun
Praktik-praktik kekerasan di sekolah
(school bullying), mulai dikenal
masyarakat Indonesia sejak dipublikasikannya kematian Wahyu Hidayat, mahasiswa
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), oleh media massa nasional pada
2003 lalu. Sejak itu pula, berita mengenai kekerasan di sekolah (school bullying) marak muncul di media
massa. Butuh penyikapan serius atas fenomena ini.
Kekhawatiran masyarakat, guru dan orangtua,
pun muncul. Jangan-jangan anaknya menjadi pelaku, atau malah jadi korban, aksi bullying di sekolahnya. Kondisi ini menuntut
munculnya implikasi aksi, yaitu sinergitas peran guru dan orangtua, yang
selanjutnya bersama-sama mewujudkan lingkungan “sekolah bebas bullying”.
Membangun Sinergitas
Amanah ini tidak bisa diserahkan pada
satu pihak, guru saja atau orangtua saja. Melainkan sinergi keduanya, yaitu
antara guru (di lingkungan sekolah) dengan orangtua (di lingkungan rumah).
Pertanyaannya, bagaimana membangun sinergitas kedua komponen itu?
Setidaknya, kita perlu memahami satu
hal, bahwa karakter anak lebih banyak terbentuk oleh lingkungan dimana anak
tersebut kerap berada. Dan, lingkungan itu mestinya ada dua tempat, yaitu (1)
rumah dan (2) sekolah. Di kedua lingkungan itulah, sinergitas guru dan orangtua
terjalin.
Sekolah bisa disebut sebagai “rumah
kedua” anak-anak. Karena, setiap hari, mereka berada di sana sejak sebelum
pukul 07.00 sampai setelah jam sekolah selesai, pukul 14.00 atau 30 menit
sesudahnya. Artinya, anak-anak ada di sekolah paling sedikit tujuh jam sehari.
Tugas guru dan komponen sekolah
lainnya, yaitu membuat para siswanya betah dan benar-benar memanfaatkan waktu mereka
secara proporsional untuk belajar. Begitupun setelah jam sekolah usai. Setelah jam
sekolah, pukul 14.00 sampai waktu-waktu selanjutnya, merupakan tugas orangtua.
Apa
yang mesti diberikan guru dan oranguta ke anak-anak? Jika guru sudah
menyuguhkan mata pelajaran selama tujuh jam, akankah sisa waktu anak-anak di
rumah masih akan diberikan hal serupa?
Ya, bisa jadi akan butuh variasi
‘suguhan’ buat anak-anak, butuh variasi tampilan, butuh variasi penyampaian,
sekalipun itu masih bagian dari pelajaran. Sebut saja, misalnya orangtua ingin
mengisi waktu anak-anaknya dengan pelajaran sejarah. Maka, diajaknya anak-anak
itu mengunjungi museum. Atau, orangtua ingin mengajarkan pada anak tentang
alam. Maka diajaknya anak-anak pergi ke hutan, naik gunung. Dan sebagainya.
Konsekuensinya, orangtua wajib punya
(1) waktu luang, (2) ketersediaan dana, dan (3) pengetahuan yang cukup, untuk
berbagi dengan anak-anaknya. Apakah setiap orangtua memiliki ketiga konsekuensi
itu? Buat yang punya, tidak masalah. Bagaimana dengan yang tidak punya salah
satu atau bahkan semuanya?
Motivasi
Minimal, orangtua memberikan motivasi
pada anak-anaknya untuk mau menambah pengetahuannya di luar sekolah. Motivasi
tersebut merupakan satu bentuk kepercayaan orangtua pada anak. Nilai
positifnya, motivasi itu akan membentuk rasa percaya diri anak. Harapannya,
rasa itu akan mengarahkannya pada pencapaian prestasi.
Motivasi dalam bentuk lain bisa juga
diberikan orangtua. Syaratnya, orangtua harus membuat dirinya kreatif.
Setidaknya membuat anaknya bisa melihat adanya kelebihan yang dimiliki
orangtuanya. Kelebihan itu, diharapkan, memberikan kesan positif pada diri
anak. Termotivasi untuk mencontoh orangtuanya, atau menjadikan diri anak itu ingin
punya kelebihan selain yang dimiliki orangtuanya. Catatannya, meski orangtua
memiliki kelebihan itu, tetap saja tidak bisa menjadi jaminan mutlak si anak
akan termotivasi.
Tingkat kesulitan lainnya, guru dan
orangtua tidak bisa memberikan perhatian secara penuh pada anak-anak. Lingkungan
sekolah maupun rumah tidak mungkin selalu ada dalam pengawasan. Kegiatan
anak-anak pun tidak melulu harus diawasi. Tidak melulu bisa diawasi. Tinggal
bagaimana menyikapinya dan mengawasinya secara proporsional.
Dan, ini poin penting: bahwa
pendidikan agama, yaitu mendekatkan diri pada orang-orang salih, untuk beramal
dan beribadah pada Allah Ta’ala, tetap menjadi yang utama bagi pendidikan
anak-anak. Bisa jadi bukan masalah jika nyatanya anak-anak kita bersekolah di
sekolah-sekolah umum, yang tidak berbasis agama seperti di sekolah
Muhammadiyah. Tinggal bagaimana orangtua memberikan porsi penting itu pada
anak-anaknya.<rohmisiti@gmail.com>
0 komentar:
Posting Komentar