Jumadil Ula, tahun 8 H. Suasana damai setelah perjanjian
Hudaibiyah 2 tahun sebelumnya betul-betul dimanfaatkan Rasulullah untuk
menyebarkan Islam ke luar Madinah. Diplomasilah cara yang dipilih Rasulullah
untuk mengajak beberapa raja dan kepala suku di luar Madinah memeluk agama
Islam.
Fajrul Islam Ats Tsauri Bersama Keluarga (Dok Pribadi) |
Harits bin Umair
al-Azdi menjadi salah satu sahabat yang terpilih menjadi diplomat Negara. Ia
mendapat tugas mengirimkan surat kepada pemimpin Bashrah, daerah yang saat itu
berada di bawah kekuasaan imperium Romawi. Namun, ketika sampai di daerah
Mu’tah dia dibunuh oleh Suyhrabil bin Amir al-Ghassani (pemimpin al-Balqa).
Dalam perspektif hubungan internasional, pembunuhan terhadap Harits (diplomat)
adalah penghinaan besar terhadap simbol dan wakil Negara yang seharusnya dihormati, bahkan memiliki
hak imunitas tertentu.
Alhasil, peristiwa tersebut direspon Rasulullah dengan
menyiapkan pasukan perang, sebab dalam konteks kematian Harits, bukan hanya
sekedar penghinaan terhadap sebuah Negara, tetapi secara tidak langsung, mereka
telah menghina Rasulullah dan Islam. Para sahabat dikumpulkan, maka
terbentuklah 3000 orang pasukan kaum muslimin.
Tak pernah dalam sebuah peperangan Nabi menetapkan 3
panglima sekaligus. Di suatu tempat di depan pasukannya beliau bersabda
“Apabila Zaid bin Haritsah gugur maka penggantinya adalah Ja'far bin Abi
Tholib, apabila Ja'far gugur maka penggantinya adalah Abdullah bin Rawahah,
apabila Abdullah gugur maka tentukan pemimpin terbaik di antara kalian.” Sebuah
isyarat kepada ketiganya bahwa kematian
terindah sedang menanti mereka.
Tak lupa Rasulullah memberikan arahan dan nasehat kepada
pasukan agar tetap menjaga marwah dan adab Islam dalam peperangan. Singkat
cerita, kedua pasukan pun akhirnya saling berhadapan di Mu’tah dan siap
bertempur dengan jumlah yang tak seimbang, pasukan Romawi unggul 70 kali lipat
jumlah tentara sebesar 200.000 orang.
Namun kenyataan ini tidaklah membuat gentar para sahabat,
keimanan kepada Allah dan Rasulullah menjadikan perbedaan itu tidak ada artinya
bagi mereka. Iman memberikan kekuatan besar bagi kaum muslimin dan
menghilangkan rasa takut di hati mereka. Para sahabat bertempur dengan penuh
keberanian. Bendera pasukan Islam dibawa oleh Zaid sebagai pemimpin pasukan.
Dalam sebuah pertempuran tombak musuh mengenai Zaid, akhirnya ia pun gugur
sebagai syahid. Persis yang dikatakan Rasulullah.
Komandan dan bendera pindah kepada Ja’far. Pasukan musuh
mampu memukul kaki kuda Ja’far. Lawan berhasil menebas tangan kanan Ja’far
hingga putus. Akhirnya bendera perang dipegang dengan tangan kiri, dan tangan
kirinya pun tertebas, bendera perang pun didekap dengan lengannya. Pada
akhirnya musuh berhasil meakhiri hidup Ja’far. Riwayat menceritakan bahwa
Ja’far terbunuh dengan 90 tusukan dari depan. Bukti kesatria sejati.
Bendera pun diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah, ia
bertempur dengan penuh keberanian hingga ia pun terbunuh sebagai syahid. Luar
biasa mereka bertiga begitu gigih mempertahankan bendera Islam berlafadzkan
kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah. Mereka sadar, paham,
mengahyati dalam sanubari yang paling dalam bahwa ini bukan hanya soal panji,
bendera atau simbol, tapi ini adalah
soal menjaga Izzah iman wal Islam, inilah pemahaman sahabat langsung dibimbing
manusia paripurna.
Senin, 22 Oktober 2018 pagi menjelang siang duduk di meja
pojok kelas 5 Andromeda. Ketika sedang berselancar di Instagram, tak sengaja
melihat sebuah video dengan kualitas gambar yang tidak cukup bagus, menandakan
direkam melalui sebuah smartphone. Beberapa saat mengamati hati ini mulai
cemas. Tampak dalam video beberapa orang berseragam doreng dengan agak
kesulitan menyalakan korek api bersiap membakar kain hitam bertuliskan Laa
Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah. Ya akhirnya mereka berhasil membakarnya.
Saya terhentak, mendadak perih, sakit rasanya hati ini
melihat bendera yang sama dahulu dipertahankan mati-matian oleh Zaid, Ja’far
dan Abdullah hingga mengorbankan jiwa raga, tapi kini dibakar sendiri oleh
mereka yang mengaku beriman.
Saya seorang muslim, didik diatas pondasi tauhid.
Salahkah bila terbesit perasaan sakit di hati saya, ketika sebuah teks kalimat
tauhid yang sangat saya cinta, hidup di atasnya dan menginginkan mati di
atasnya pula di bakar orang? Jujur. Pada saat peristiwa itu terjadi yang
terlihat oleh mata fisik dan mata batin kami semata-mata hanyalah kalimat Laa
Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah. Tidak lebih dari itu.
Dengan segala hormat kami kepada oknum-oknum yang
terlibat. Memang, kemudian saya memahami konteks peristiwa tersebut. Namun
hargailah keluguan kami. Kami tidak punya cukup waktu untuk mengaitkannya
dengan konstalasi sosial-politik kepentingan kalian. Maafkanlah kami jikalau
tidak menganggap itu simbol ormas musuh kalian. Maafkanlah kami tak mampu
mengaitkan teks itu dengan perkara-perkara semiotik ndakik, itu kejauhan bagi
kami.
Hormatilah kepolosan kami dan janganlah menyalahkan kami
jika akal sehat kami tidak nutut dengan nalar kalian yang dengan membakarnya
justru kalian katakan itu menjaga dan memuliakannya. Maaf kami tidak setuju.
Hormatilah sikap kami yang berbeda dengan kalian. Jangan tuduh kami HTI, radikalis, tidak NKRI karena
berbeda paham dengan kalian. Kami hanya malu dengan Zaid, Ja’far dan Abdullah
jika kelak berjumpa mereka. Bagaimana kami akan menjawab jika mereka bertanya.
Biarkan kami di barisan mereka, walaupun tidak bisa seperti mereka.
oleh: Fajrul Islam
Guru SD Muhammadiyah 18 Surabaya.
Mulyorejo, 23 Okt 2018
0 comentários:
Posting Komentar